GADO-GADO DEMOKRSASI : Parpol Itu Mesin UANG

Rabu, 10 September 2008


Oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein

Dana kampanye partai politik (parpol) atau politisi dapat berasal internal partai dan eksternal partai. Sumbangan dari kader partai tidak dibatasi jumlahnya. Di lain pihak, pengeluaran partai untuk kampanye pemilu juga tidak ada batas jumlahnya. Dengan demikian, partai akan berlomba-lomba mencari sumber dana, bukan saja dari sumbangan kader-kadernya, tetapi juga dari pihak lain. Sumbangan dapat berasal dari sumber yang jelas dan sah, tetapi tidak tertutup kemungkinan sumbangan itu berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh legislatif, eksekutif, serta parpol, baik di daerah maupun di pusat.

Kader parpol yang duduk di lembaga legislatif sering kali dijadikan andalan untuk mencari dana partai. Sudah tentu ini terkait dengan kewenangan legislatif yang dapat menghasilkan uang, yaitu kewenangan legislasi, kewenangan anggaran, kewenangan melakukan fit and proper test terhadap calon pejabat publik, kewenangan memberikan rekomendasi kepada pemerintah, dan kewenangan DPRD untuk menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Dengan kata lain, untuk dapat memperoleh dana, kader partai yang menjadi anggota legislatif, ada yang menyalahgunakan kewenangan legislatif itu sendiri.
Berdasarkan UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan, posisi DPR memang semakin kuat. Misalnya, fungsi legislasi atau membuat UU. Sejalan dengan itu, untuk menjalankan roda pemerintahan dan memecahkan masalah yang ada seringkali pemerintah memerlukan UU, sehingga RUU yang diajukan pemerintah jauh lebih banyak daripada RUU yang diajukan atas inisiatif DPR. Situasi ini membuat DPR sangat dibutuhkan untuk menyetujui RUU yang diajukan pemerintah.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pembahasan RUU di DPR

memerlukan biaya ekstra yang dapat menjadi ladang bagi anggota DPR untuk mengeruk dana, baik untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan partainya.

Uang ini dapat berasal dari anggaran pemerintah atau dari sektor swasta yang diminta menyumbang oleh pemerintah. Misalnya, pembahasan UU 3/2004 yang mengubah UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, diduga melibatkan uang yang cukup banyak. Kasus ini sekarang sedang diperiksa di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Selain legislasi, kewenangan lain yang dimiliki DPR adalah kewenangan di bidang anggaran. Bagi instansi di daerah atau pusat yang memerlukan anggaran yang besar, kadang kala memerlukan jasa dari oknum anggota DPR.

Relasi ini dapat melahirkan kolusi antara oknum anggota DPR dan departemen di tingkat pusat dan pemda. Bahkan kolusi ini dapat melibatkan pihak swasta sebagai penyedia barang atau jasa yang diperlukan oleh pemda atau instansi di tingkat pusat.

Biasanya oknum anggota DPR meminta persentase tertentu dari anggaran yang diperoleh, atau dari nilai pengadaan barang dan jasa yang dibiayai anggaran negara tersebut. Contoh yang paling aktual adalah pengadaan kapal patroli oleh Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan yang diduga melibatkan anggota DPR yang memperoleh persentase tertentu dari pengadaan kapal patroli tersebut. Kasus ini sedang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tak cukup itu, DPR juga berwenang melakukan fit and proper test bagi calon pejabat publik. Kewenangan itu tak hanya diberikan UU, tetapi juga UUD. Saat menggelar fit and proper test, ada kalanya pertimbangan politik lebih kuat dibandingkan dengan pertimbangan kompetensi dan integritas. Akibatnya, calon yang memiliki kompetensi dan integritas yang baik tidak terpilih. Sebaliknya, calon yang kurang kompeten dan kurang memiliki integritas bisa saja disetujui DPR.

Dengan kenyataan tersebut, seorang calon yang memiliki kompetensi dan integritas yang baik, diharuskan juga memiliki dukungan politik yang kuat. Untuk memperoleh dukungan politik, seringkali tidak cukup dengan menggunakan jurus "tangan kosong". Diperlukan adanya "buah tangan" untuk memperoleh dukungan tersebut. "Buah tangan" dapat berupa uang atau janji yang diberikan sang calon, atau dana yang disiapkan penyandang dana. Contoh yang sedang ramai dibicarakan adalah sumbangan/gratifikasi yang diduga dilakukan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang menggunakan cek perjalanan dari Bank Internasional Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada Agustus 2004, menjelang pemilihan presiden sebulan kemudian.

Kewenangan DPR lainnya yang berpotensi penyimpangan, adalah kewenangan memberi rekomendasi kepada pemerintah. Sering kali keputusan pemerintah didasarkan pada rekomendasi yang diberikan DPR. Misalnya, kewenangan mengalihkan fungsi hutan di daerah, sebelum disetujui Menteri Kehutanan, diperlukan rekomendasi dari DPR.

Untuk memperoleh rekomendasi ini, seringkali perlu biaya yang tidak sedikit. Seperti kasus pengalihan fungsi hutan di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, dan Tanjung Siapi-api, Sumatera Selatan, yang melibatkan beberapa oknum anggota DPR. Dalam perkembangannya diketahui, bahwa salah satu anggota DPR yang menjadi tersangka (Yusuf Amir Feisal) menyumbang sangat besar kepada parpolnya. Kasus ini juga sedang ditangani KPK

Kewenangan Eksekutif

Selain memanfaatkan kewenangan yang ada di lembaga legislatif, modus penggalangan dana politik juga memanfaatkan kewenangan yang ada di lembaga eksekutif. Sebagaimana di DPR, banyak kewenangan eksekutif di tingkat pusat dan daerah yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan oknum pejabat yang bersangkutan atau partainya.

Dalam pengelolaan dana perimbangan oleh pemda, terlihat juga berbagai modus operasi penyalahgunaan dana tersebut untuk kepentingan pribadi, yang sebagian mungkin disumbangkan untuk parpolnya. Misalnya, dana pemda tersebut dipindahkan ke rekening pribadi, baik atas nama pribadi pejabat, istri atau anaknya. Kemudian sebagian dana atau bunga dari dana tersebut dinikmati oleh sang pejabat yang biasanya berasal dari parpol.

Di beberapa pemda, pendapatan bunga dari hasil penempatan dana, tidak seluruhnya kembali kepada pemda. Sebagian bunga tersebut dinikmati oleh sang pejabat.

Modus lainnya adalah menempatkan dana pemda pada produk pasar uang, misalnya reksadana. Hasil investasi tersebut, ternyata dinikmati oleh pejabat pemda bersangkutan.

Selain itu, ada juga politisi yang memanfaatkan pejabat pemda yang kebetulan memegang suatu posisi kunci di perusahaan daerah (BUMD). Dana-dana politik diambil dari honor yang diperoleh dari BUMD tersebut.

Praktik lain yang kerap dilakukan adalah dengan menyalahgunakan kewenangan di bidang sumber daya manusia. Misalnya, menarik dana saat perekrutan pegawai atau pada waktu mempromosikan seseorang untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Pejabat yang dipromosikan sering dimintai sumbangan, baik untuk kepentingan pribadi atau partainya. Sumbangan bisa juga berasal dari calon pejabat publik yang ingin mendapat jabatan, atau dari pejabat publik yang ingin mempertahankan jabatannya.

Ada kalanya pejabat publik mengunjungi satu perusahaan yang biasa-biasa saja. Namun, bagi pemilik dan manajemen perusahaan, kunjungan itu merupakan iklan yang sangat luar biasa. Sebagai kontraprestasinya, pemilik dan manajemen mesti mengeluarkan dana untuk menyumbang parpol tertentu yang berafiliasi dengan sang pejabat, yang dianggap berjasa di balik kunjungan tersebut.

Tak hanya itu, untuk dapat bertemu seorang pejabat, sering harus berhadapan dengan elite parpol. Dengan imbalan dana, elite parpol itu bisa memberi rekomendasi kepada sang pejabat untuk menerima kunjungan seseorang atau lembaga (perusahaan) tertentu.

Bentuk penggalangan dana lainnya adalah dengan meminta sponsor dari BUMN dan BUMD. Walaupun UU 10/2008 tentang pemilihan legislatif melarang BUMN dan BUMD menyumbang parpol, tetapi cara-cara meminta mereka menjadi sponsor kegiatan atau proyek yang erat kaitan dengan parpol, adalah langkah untuk menelikung larangan itu. Cara yang jamak dilakukan adalah biasanya parpol, tim sukses, atau politisi membuat yayasan atau badan sosial, guna menyamarkan kegiatan partainya.

Kalau sumbangan uang dalam jumlah besar, biasanya tidak menggunakan uang tunai, tetapi menggunakan high risk product dari perbankan seperti cek perjalanan yang bernilai nominal cukup besar, seperti Rp 25 juta dan Rp 50 per lembar. Modus seperti ini pernah dilakukan dalam sumbangan Menteri Kelautan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Rokhmin Dahuri, kepada sejumlah calon presiden menjelang pemilu presiden empat tahun silam.

Demikianlah berbagai cara politisi atau parpol mencari dana, yang biasanya semakin gencar dilakukan menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Menurut ketentuan, sumbangan untuk dana kampanye dapat berupa barang atau uang.

Walaupun partai diharuskan melaporkan setiap sumbangan yang diterima, tetapi dapat diduga, bahwa laporan tersebut belum tentu sepenuhnya benar dan agak sulit untuk diawasi. Dengan meningkatnya kesadaran hukum dan pengawasan publik yang kuat, diharapkan sumber dana kampanye yang berasal dari penyalahgunaan kewenangan semakin berkurang.[]

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Diposting Salam kebangkitan Islam di :http://al-jauhari.blogspot.com

Diposting oleh Salam Kebangkitan Islam di 12:10 AM 0 komentar  

>Daur Ulang Hantu Wahabi

Kamis, 28 Agustus 2008

Rabu, 20 Agustus 2008 18:21

Oleh : Fahmi Suwaidi (Peneliti pada Institute of Sosial Research and Advocacy (ISRA)

Seorang kawan berdiskusi, kebetulan dia perwira menengah yang banyak berkecimpung dalam dunia intelijen, mensinyalir bahwa untuk membendung gelombang radikalisme dan terorisme di Indonesia, wacana Islam tradisionalis harus dikembangkan.

Hal itu urgen, katanya, untuk menghadapi arus fundamentalisme dan radikalisme atas nama jihad yang diusung oleh kelompok Wahabi. Paham keagamaan yang dikembangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1702-1791) di Saudi Arabia.



Paham ini di Indonesia sejalan dengan pemikiran Islam modernis yang dikembangkan ormas-ormas seperti Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad. Intinya pada pemurnian tauhid dari syirik, serta pemurnian ibadah dari takhayul, bid’ah dan khurafat (populer di kalangan Muhamadiyah sebagai TBC).

Kembali ke sinyalemen kawan tadi, ide pengembangan Islam tradisional positif-positif saja. Toh wacana itu positif dan merupakan bagian dari konstelasi ide umat di Indonesia maupun di dunia. Yang membuat kening berkerut justru ide kedua. Bahwa pemikiran Wahabi menjadi tertuduh untuk berbagai radikalisme dan terorisme atas nama agama dan perlu dibendung dengan memanfaatkan pemikiran tradisionalis.

Sinyalemen tadi cukup menggelisahkan. Fenomena teror mulai diarahkan penyelesaiannya kepada “kambing hitam ideologis”. Tak jelas apa penyebabnya, tapi misteri itu mulai terungkap dalam buku karangan Charles Allen berjudul “God’s Terrorists, the Wahhabi Cult and the Hidden Root of Modern Jihad” (Little Brown, London, 2006).

Buku ini berisi sejarah penjajahan Inggris di India dan benturan pasukan mereka dengan kelompok-kelompok perlawanan Muslim yang menganut pemahaman Islam seperti Muhammad bin Abdul Wahhab.

Banyak rekaman sejarah dalam buku itu yang seolah membawa deja vu ke alam sekarang. Yaitu saat kekuatan imperialis Barat berhadapan dengan umat Islam yang menurut mereka “puritan, radikal dan fanatik”.

Kini, pasukan Inggris, Amerika dan negara-negara sekutu mereka menghadapi kekuatan sejenis di Afghanistan, Irak dan Moro. Wajarlah jika mereka menuding bahwa semangat dan keberanian musuh mereka itu akibat dogma Wahabi.

Celakanya, perang imperialisme masa kini membawa label “menumpas terorisme”. Maka musuh Barat disebut teroris, dan ideologinya disebut sebagai ideologi teror. Jadilah paham Wahabi dituduh sebagai “akar ideologi teror”.

Hal ini membawa kenangan buruk saat perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dituduh sebagai “ekstrimis fanatik”. Memang, stigma buruk yang dalam dunia intelijen dikenal sebagai black propaganda selalu menjadi sisi lain dari pedang perang dan konflik.

Tanpa perlawanan

Yang mengkhawatirkan juga, stigma buruk ini seolah tak mendapat perlawanan dari dunia Islam. Cendekiawan Muslim sekelas Azyumardi Azra saja seolah “pasrah” dengan tudingan buruk kepada “Islam Wahabi” (Resonansi Republika, Kamis, 15 Februari 2007).

Azyumardi mengutip isi buku karya Natana J. Delong-Bas,” Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad” (Oxford/Cairo: Oxford University Press & American University Press, 2005).


Buku ini menyatakan bahwa pasca-11 September 2001 di Amerika Serikat, Wahabisme dianggap sebagai Islamic threat yang mengancam peradaban Barat; Wahabisme menjadi sumber inspirasi bagi Usamah bin Ladin dan Alqaidah dalam jihad global melawan dunia Barat dan sekutunya.


Wahabisme juga digambarkan sebagai aliran pemikiran dan mazhab yang paling tidak toleran dalam Islam, yang berusaha dengan cara apa pun –termasuk kekerasan– untuk pengembangan dan penerapan ‘Islam murni’, yang mereka pandang sebagai Islam yang paling benar.

Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini kemudian mengklaim bahwa di Asia Tenggara, Wahabisme tidak pernah populer. Gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol disebutnya “dengan kekerasan memaksa kaum Muslimin di wilayah tersebut meninggalkan paham dan praktik Islam yang tercampur dengan tradisi lokal, dan sebaliknya agar mereka menjalankan Islam ‘murni’”.

Bahkan, dalam banyak kalangan Muslim di kawasan ini, istilah ‘Wahabiyah’ atau ‘Wahabisme’ merupakan semacam ‘anathema’, sesuatu yang negatif dan tidak baik. Sebab itu, anggapan Wahabiyah kian kuat di Indonesia atau tempat-tempat lain di Asia Tenggara merupakan kekhawatiran berlebihan yang tidak perlu, demikian menurut Azyumadri.

Benarkah demikian? Tudingan Wahabi justru selalu jadi alat penjajah Barat untuk memecah dan mengisolir kelompok Muslim yang menolak dan melawan hegemoni kolonialisme dan imperialisme dari saudara-saudara mereka yang berbeda madzhab atau paham.

Cap ini ibarat momok yang digunakan untuk menakut-nakuti kelompok lain. Menghambat dialog dan kerjasama antar elemen umat Islam dengan mengadu domba antara kelompok “moderat dan radikal”, cap lain yang juga mereka ciptakan.

Pengalaman di India

Di masa lalu, strategi belah bambu seperti ini berhasil membuat gerakan Syaikh Ahmad Irfan, yang gigih berjuang melawan penjajah Inggris di India dan hampir berhasil mendirikan sebuah negara (daulah) merdeka, dihancurkan oleh suku-suku bermadzhab Hanafi.

Para pemimpin suku itu dihasut Inggris bahwa paham Wahabi yang dimiliki Ahmad Irfan akan menggusur madzhab Hanafi yang mereka yakini. Operasi intelijen pun digelar untuk melayukan gerakan ini sebelum sempat berkembang, meminjam tangan suku-suku tersebut.

Daulah Ahmad Irfan pun tumbang, maka muluslah penjajahan Inggris di India. Jadilah para moyang Tony Blair, kini menggagas kerjasama Islam Indonesia-Inggris, menjadi penjajah yang rules the waves, menguasai gelombang lautan di seluruh penjuru dunia.

Kini jurus yang sama pun digelar untuk memecah dunia Islam. Tertuduhnya masih tetap Wahabi. Sasaran akhirnya pun sama, meredam perlawanan terhadap hegemoni Barat yang tetap kolonialis meski berkedok demokrasi dan liberalisme.

Sebodoh-bodoh keledai tak akan terantuk batu yang sama untuk kedua kalinya. Kini jaring operasi intelijen dengan mendaur ulang hantu Wahabi telah ditebar. Berikutnya apa?

(www.isra11.wordpress.com)

Diposting oleh Salam Kebangkitan Islam di 1:04 PM 0 komentar